Senin, 10 Oktober 2011

SUBUTEX = BANDAR LEGAL ?



Pengurangan dampak buruk penggunaan narkoba suntik sebagai mata rantai penyebaran HIV (harm reduction), tak hanya sebatas terapi metadon dan pertukaran jarum suntik steril. Salah satu substitusi lain adalah terapi Subutex atau buprenorphin. , Indonesia memang mengenal dua macam terapi. Yakni terapi metadon dan terapi subutex. Keduanya digunakan melalui mulut, bukan dengan cara disuntik seperti putaw yang memicu penyebaran virus HIV/AIDS. Subutex sebelumnya adalah non-controlled drug yang mulai digunakan di Singapura untuk membantu mengobati kecanduan mantan pecandu heroin sejak tahun 2002. Menurut IMH, di Singapura kini terdapat 3.800 pecandu subutex. Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan yang diderita mantan pecandu heroin, subutex seharusnya dikonsumsi sekali sehari dengan cara melarutkannya di bawah lidah. Namun subutex telah disalahgunakan,digerus dan dilarutkan dengan air hangat atau terkadang dengan mencampurkannya dengan obat penenang tertentu dan menyuntikkannya untuk mencapai “high”.
Sebagai obat untuk mengatasi gejala kecanduan heroin, 40 negara mengijinkan penggunaan subutex, namun hal ini telah menciptakan masalah kecanduan subutex di beberapa negara. Menurut International Narcotics Board PBB, 1,7 milyar dosis subutex dikonsumsi tiap harinya pada tahun 2004. Ditemukan bahwa di beberapa negara, penyalahgunaan subutex telah menjadikan subutex sebagai obat yang paling dikonsumsikan oleh pecandu berbahan dasar opium seperti heroin. Sebagai obat legal, dengan harga yang relarif lebih murah dari heroin dan mudah diperoleh, subutex telah menjadi obat pengganti favorit bagi pecandu heroin. Di India yang memproduksi buprenorphine (campuran aktif dalam subutex) 90% pengguna subutex memakainya dengan cara penyuntikan..
Munculnya budaya menyuntik mengkhawatirkan, karena penggunaan subutex yang dicampurkan dengan obat lain dengan cara menyuntikkannya dapat mengakibatkan kerusakan nadi, kegagalan pernapasan, dan gangrene (pembusukan karena infeksi pada pembuluh darah) yang dapat menyebabkan amputasi. Zat seperti Dormicum yang tidak larut dalam air atau darah dapat menyumbat aliran darah dan menyebabkan penggumpalan darah yang akhirnya berujung pada gangrene. Penggunaan jarum suntik secara bersama juga dapat menyebabkan penyebaran HIV, serta Hepatitis B dan C.
Penggunaan subutex diindonesia sudah tertuang secara legal dalam Keputusan Menteri Kesehatan No 567/2006. Penggunaan Subutex harus melalui konseling dan resep dokter serta tidak dapat dibeli langsung diapotik-apotik.
Tetapi temuan dilapangan berbanding terbalik dengan SOP (standart operasional prosedur) yang telah ditetapkan. Justru sangat mudah mendapatkan subutex. Ada kemungkinan subutex tadi diperjual belikan dipasar gelap. Tetapi fakta yang paling mencengangkan adalah para pengguna bisa mendapatkan subutex tersebut (membeli, red) dari dokter dan apotik-apotik., puskesmas secara bebas dengan harga yang terjangkau dan tanpa pengawasan yang ketat. Kehadiran subutex dengan fenomena permintaan yang besar membuka lahan bisnis baru bagi para oknum petugas kesehatan. Wajar saja kalau Subutex akhir-akhir ini menjadi favorit dikalangan pengguna.selain gampang untuk mendapatkannya, juga lebih aman untuk digunakan karena legal . Di Lapas dan Rutan pun tak luput dari peredaran subutex ini. Sudah banyak fakta-fakta dari lapangan yang ditemukan makin memperjelas kriminalisasi kesehatan ini.
Jika melihat fenomena yang terlihat di Singapura yang telah menerapkan pola ini ternyata gagal, Indonesia cenderung latah untuk berbuat. Jangan sampai niat untuk melaksanakan program ini dengan baik justru menimbulkan masalah yang baru untuk para penggunanya

Tidak ada komentar:

Entri Populer