UKM dan Pencitraan UNM
Bukan rahasia umum lagi kalau beberapa tahun terakhir ini Universitas Negeri Makassar (UNM) sebagai instansi pendidikan terkemuka di kawasan timur Indonesia selalu diidentikan dengan kampus tawuran. Bahkan sepertinya Museum Rekor Indonesia (MURI) boleh saja menganugrahkan penghargaan untuk UNM sebagai kampus dengan tawuran terbanyak se-indonesia melihat rekor dari tahun berdirinya tembok berlin di Parang Tambung hingga runtuhnya tembok tersebut berhasil mencetak jumlah yang begitu mencengangkan. Realitas ini kemudian dengan pasrah menyeret UNM dalam pusaran citra yang begitu negatif oleh banyak kalangan. Persepsi masyarakat telah melekat bahwa UNM merupakan kampus yang hanya bisa menyajikan tontonan primitif dilayar kaca saja, tanpa sedikitpun melirik sisi lain UNM dalam menorehkan prestasi dan kegiatan positif lainnya. Padahal dalam kurun waktu yang sama UNM sering kali meraih prestasi yang dapat dibanggakan oleh seluruh civitas akademika. Dan itu tidak bisa dipungkiri orang-orang yang bergelut UKMlah (Unit Kegiatan Mahasiswa) menjadi salah satu pelaku torehan prestasi yang membanggakan itu.
Eksistensi UKM di UNM
Pimpinan universitas sepertinya tidak menyadari kalau selama ini Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) mengambil peran dalam memburamkan pencitraan negatif masyarakat terhadap UNM melalui kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan oleh UKM. 12 UKM di UNM yang terdiri dari UKM Pramuka, UKM Seni, UKM Maphan, UKM KSR PMI, UKM Kopma, UKM LKIMB, UKM Menwa, UKM SAR, LPM Penalaran, UKM Sintalaras, UKM Olahraga dan LPPM Profesi harus dipahami adalah aset terbesar Universitas Negeri Makassar dalam upaya melakukan pencitraan positif ke Masyarakat bahwa UNM merupakan kampus yang tidak hanya dapat dinilai dari sisi negatifnya saja dengan maraknya tawuran, melainkan dengan keberadaan UKM melalui kegiatannya yang menyentuh lini paling dalam masyarakat paling tidak sedikit membuktikan bahwa UNM masih mempunyai nilai positif di mata masyarakat. Secara garis besar eksistensi UKM dibuktikan dengan program kegiatan yang memiliki poin-poin dari pengamalan tri dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Seperti pada UKM Pramuka dengan kegiatan Desa Binaan dan Marchind Bandnya, UKM Seni dengan pementasan tari, musik, teaternya, UKM Maphan dengan penyuluhan narkoba dan zat adaptifnya, UKM KSR PMI dengan donor darah dan Kemah Baktinya, UKM Kopma dengan nilai-nilai Entreprenuernya, UKM LKIMB dengan implementasi kajian-kajiannya, UKM Menwa dengan Bakti sosialnya (nasionalisme), UKM SAR dengan eksistensinya dalam dunia bencana, UKM Penalaran dengan segudang prestasi ilmiahnya, UKM Sintalaras dengan kegiatan kepecintaalamannya, UKM Olahraga dengan prestasi keolahragaannya dan LPPM Profesi dengan pemberitaan dan penyiaraanya. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan UKM inilah menjadi sebuah dalih nyata bahwa UNM bukan sebagai kampus tawuran, karena dengan kegiatan-kegiatan tersebut pencitraan UNM semakin gemilang dengan segudang prestasi pendidikan, penelitan sampai pada pengabdian kepada masyarakat di mata masyarakat.
Apresiasi UNM Terhadap UKM
Miris rasanya ketika melihat perlakuan pimpinan universitas terhadap eksistensi UKM, seperti tidak mendapatkan kasih sayang layaknya orang tua di kampus perguruan tinggi. Padahal UKM banyak mengambil peran dalam mempengaruhi persepsi masyarakat untuk tidak mengatakan dengan gamblang “UNM itu Kampus Tawuran”. Akan tetapi realitas berkata lain, tidak jarang kebijakan pimpinan universitas membuat para fungsionaris UKM mengelus dada dan berkaca-kaca. Kerja keras dalam upaya menciptakan pencitraan UNM yang positif tidak diapresiasi sebagai sesuatu yang membanggakan bagi orang-orang yang berada di rektorat. Luka itu masih terasa hingga hari ini ketika sekretariat, Pos Komando (Posko), Markas Komando (Mako), Bilik dan sanggar UKM dipindahkan keluar lingkungan kampus. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) yang berada di Parang Tambung sejak dulu menjadi saksi bisu torehen-torehan prestasi itu dirangkai dengan kerja keras kini tinggal memori nostalgia lama yang sangat mustahil mengembalikannya melihat respon pimpinan universitas yang tidak sama sekali memberikanm signal harapan untuk kembali ke PKM. Gedung PKM telah menjadi sebuah tempat kenangan dimana sarana dan suasana kondusif untuk dikatakan sebuah PKM layaknya PKM-PKM di kampus perguruan tinggi lainnya menjadi hal yang tidak ditemukan lagi saat ini. Ditempatnya yang baru, yang terpencar entah dimana titik koordinatnya, UKM mengalami berbagai kesulitan dalam melaksanakan aktifitas kelembagaan jika dibanding ketika Gedung PKM masih menjadi tempat bereksplorasi kegiatan-kegiatan UKM. Coba lirik UKM Olahraga yang kini tidak memiliki lapangan basket, futsal dan bulutangkis lagi, coba liat UKM Sintalaras yang harus rela kehilangan wall climbing karena berada di gedung Eks PKM, coba liat UKM Seni saat latihan tari ataupun teather harus rela diruas-ruas jalan rektorat dan coba liat UKM SAR yang harus rela membawa perahu karetnya keluar dari pemukiman warga akibat akses jalan yang tidak dapat ditempuh oleh Truck Rescue serta masalah-masalah lain seperti kerawanan bergesekan (konfik) bagi UKM-UKM lainnya yang hidup bertetangga dengan warga tempat sekretariatnya berada.
Lebih parahnya lagi, pimpinan universitas sepertinya ingin mematikan regenerasi UKM. Buktinya dalam PMB (penyambutan mahasiswa baru) di tingkat universitas 2 tahun terakhir ini jelas memberi kesan bahwa kepedulian universitas terhadap eksistensi UKM tidak ada sama sekali dilihat dari pengalokasian waktu dalam sosialisasi kelembagaan UKM begitu absurd. PMB di tahun 2010 misalnya, waktu yang ditentukan sangat tidak logis untuk mendeskripsikan profile kelembagaan yang tercatat kurang dari 5 menit. Padahal harus dipahami bersama bahwa melalui PMB ditingkat universitaslah para fungsionaris UKM berharap dapat mendulang simpatik mahasiswa baru untuk bergabung di UKM. Sedangkan, di PMB tahun 2011 lebih makan hati lagi, karena UKM tidak sama sekali diberikan waktu dalam memberikan gambaran lisan profil kelembagaannya. Parah! Terakhir, dalam hal pengucuran dana lembaga kemahasiswaan, UKM seolah dianaktirikan jika dibandingkan lembaga kemahasiswaan lainnya sekelas BEM/MAPERWA. Menarik kariktur dan pemberitaan“ Anggaran tak proposional” yang diterbitkan di tabloid profesi beberapa pekan lalu mengisyaratkan bahwa pimpinan universitas pilih kasih dalam hal pengucuran dana kemahasiswaan, khususnya UKM. Seperti yang dilansir Profesi (edisi 148) bahwa BEM UNM memiliki prestise yang tertinggi (anggaran) dibanding LK ditingkat universitas lainnya (UKM). Misalnya saja Untuk UKM LKIMB, setiap triwulannya mereka hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 1, 5 juta. Kalau dihitung untuk satu kepengurusan, UKM hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp6 Juta. Ironis!
Apresiasi UNM Terhadap UKM
Miris rasanya ketika melihat perlakuan pimpinan universitas terhadap eksistensi UKM, seperti tidak mendapatkan kasih sayang layaknya orang tua di kampus perguruan tinggi. Padahal UKM banyak mengambil peran dalam mempengaruhi persepsi masyarakat untuk tidak mengatakan dengan gamblang “UNM itu Kampus Tawuran”. Akan tetapi realitas berkata lain, tidak jarang kebijakan pimpinan universitas membuat para fungsionaris UKM mengelus dada dan berkaca-kaca. Kerja keras dalam upaya menciptakan pencitraan UNM yang positif tidak diapresiasi sebagai sesuatu yang membanggakan bagi orang-orang yang berada di rektorat. Luka itu masih terasa hingga hari ini ketika sekretariat, Pos Komando (Posko), Markas Komando (Mako), Bilik dan sanggar UKM dipindahkan keluar lingkungan kampus. Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) yang berada di Parang Tambung sejak dulu menjadi saksi bisu torehen-torehan prestasi itu dirangkai dengan kerja keras kini tinggal memori nostalgia lama yang sangat mustahil mengembalikannya melihat respon pimpinan universitas yang tidak sama sekali memberikanm signal harapan untuk kembali ke PKM. Gedung PKM telah menjadi sebuah tempat kenangan dimana sarana dan suasana kondusif untuk dikatakan sebuah PKM layaknya PKM-PKM di kampus perguruan tinggi lainnya menjadi hal yang tidak ditemukan lagi saat ini. Ditempatnya yang baru, yang terpencar entah dimana titik koordinatnya, UKM mengalami berbagai kesulitan dalam melaksanakan aktifitas kelembagaan jika dibanding ketika Gedung PKM masih menjadi tempat bereksplorasi kegiatan-kegiatan UKM. Coba lirik UKM Olahraga yang kini tidak memiliki lapangan basket, futsal dan bulutangkis lagi, coba liat UKM Sintalaras yang harus rela kehilangan wall climbing karena berada di gedung Eks PKM, coba liat UKM Seni saat latihan tari ataupun teather harus rela diruas-ruas jalan rektorat dan coba liat UKM SAR yang harus rela membawa perahu karetnya keluar dari pemukiman warga akibat akses jalan yang tidak dapat ditempuh oleh Truck Rescue serta masalah-masalah lain seperti kerawanan bergesekan (konfik) bagi UKM-UKM lainnya yang hidup bertetangga dengan warga tempat sekretariatnya berada.
Lebih parahnya lagi, pimpinan universitas sepertinya ingin mematikan regenerasi UKM. Buktinya dalam PMB (penyambutan mahasiswa baru) di tingkat universitas 2 tahun terakhir ini jelas memberi kesan bahwa kepedulian universitas terhadap eksistensi UKM tidak ada sama sekali dilihat dari pengalokasian waktu dalam sosialisasi kelembagaan UKM begitu absurd. PMB di tahun 2010 misalnya, waktu yang ditentukan sangat tidak logis untuk mendeskripsikan profile kelembagaan yang tercatat kurang dari 5 menit. Padahal harus dipahami bersama bahwa melalui PMB ditingkat universitaslah para fungsionaris UKM berharap dapat mendulang simpatik mahasiswa baru untuk bergabung di UKM. Sedangkan, di PMB tahun 2011 lebih makan hati lagi, karena UKM tidak sama sekali diberikan waktu dalam memberikan gambaran lisan profil kelembagaannya. Parah! Terakhir, dalam hal pengucuran dana lembaga kemahasiswaan, UKM seolah dianaktirikan jika dibandingkan lembaga kemahasiswaan lainnya sekelas BEM/MAPERWA. Menarik kariktur dan pemberitaan“ Anggaran tak proposional” yang diterbitkan di tabloid profesi beberapa pekan lalu mengisyaratkan bahwa pimpinan universitas pilih kasih dalam hal pengucuran dana kemahasiswaan, khususnya UKM. Seperti yang dilansir Profesi (edisi 148) bahwa BEM UNM memiliki prestise yang tertinggi (anggaran) dibanding LK ditingkat universitas lainnya (UKM). Misalnya saja Untuk UKM LKIMB, setiap triwulannya mereka hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp 1, 5 juta. Kalau dihitung untuk satu kepengurusan, UKM hanya mendapatkan anggaran sebesar Rp6 Juta. Ironis!
Proyeksi = Pekerjaan Rumah UNM
Realitas telah mendeskripsikan dengan jelas bahwa ada suatu masalah dalam memposisikan UKM sebagai aset pencitraan UNM yang lebih baik. Seyogyanya pimpinan universitas menaruh perhatian besar terhadap eksistensi UKM yang kini tidak dapat dipungkiri telah mengalami degradasi dari segala aspek, mulai dari minat mahasiswa untuk bergabung ke UKM yang berefek pada regenerasi kelembagaan yang begitu sangat kurang, sampai pada pelaksanaan operasional kelembagaan yang selalu terkendala dengan biaya. Tidakkah kita bangga ketika LPM Penalaran berhasil menjadi finalis di PIMNAS, ataukah adakah kebanggaan kita ketika UKM Seni dapat melakukan pementasan di kanca international dan UKM-UKM lain dengan alur prestasinya masing-masing? Persaingan pencitraan perguruan tinggi semakin ketat. Setiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta berlomba-lomba menyajikan pencitraan yang baik melalui kegiatan-kegiatan positif dikampus masing-masing. UNM tentunya tidak ingin ketinggalan kereta ataupun makin terpuruk dengan citra tawurannya yang telah terkenal seantero Indonesia. Oleh karena itu mari bersama menimbulkan kesadaran bahwa UKM adalah jembatan dalam menghadirkan pencitraan UNM sebagai kampus ilmiah, spiritual dan martabat yang menjungjung tinggi nilai-nilai Siri’, Sipakatau, Sipakainga, Sipakalebbi. Ewako UNM!
Penulis Adalah Mantan Penghuni Gedung PeKaeM Parang Tambung UNM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar